Sabtu, 29 Mei 2010

Haruskah Aku Balas?

Entah karena sudah suratan tanganku atau memang Tuhan selalu menguji diriku sehingga ada saja orang yang tega menyakiti hatiku tanpa aku mengenal dia. Lucu dan aneh aku pikir, tapi itulah kenyataannya. Ada orang yang bisa sangat membenci diriku tanpa kita saling kenal. Padahal sudah jelas kata pepatah 'tak kenal maka tak sayang'. Namun tetap saja yang aku dapati kenyataan, bahwa ada orang yang mampu membenciku tanpa sedikitpun dia mau mengenal pribadiku dulu.

Dulu sering aku merasa sangat marah dengan kenyataan ini. "Kok bisa ya dia benci padaku? Kenapa kok tidak mengenal diriku dulu, kalau memang ada yang tidak baik dariku barulah dia bisa membenciku", kata-kata ini dulu sering sekali terlontar dari mulutku karena merasa diperlakukan tidak adil. Kenapa orang-orang itu tidak memberi kesempatan padaku untuk menunjukkan siapa diriku? Kenapa aku selalu divonis bersalah atau dinilai tidak baik terlebih dulu, tanpa ada rasa manusiawi sedikitpun? Sangat terpuruk, marah dan sedih ketika keadaan itu menghampiri diriku.

Sering aku bertanya dalam hati, "Haruskah aku membalas perlakuan mereka?" Dan aku bertanya lagi, "Untuk apa? Hanya untuk memuaskan rasa sakit hatiku karena diperlakukan tidak adil begini?" Tapi aku yakin tidak akan pernah terpuaskan. Karena sifat manusia yang tidak akan pernah puas oleh suatu keadaan. Apabila sekali saja nafsu balas dendam dituruti pasti akan ada keinginan untuk melakukannya lagi. Dulu aku sering menangis dengan kenyataan yang aku hadapi ini. Namun aku hanya mampu diam, dan tidak senang membalas walau terasa sangat sakit.

Namun bersyukur suatu waktu tanpa diduga aku bisa mengikuti suatu pelatihan yang didalam nya aku dapatkan sebuah pengetahuan yang sangat berharga. Yang pertama sesuai dengan keyakinan yang aku anut yang percaya akan adanya reinkarnasi. Bahwa ketika kita dipertemukan dengan orang benci pada diri kita tanpa orang itu mengenal kita terlebih dahulu, sangat besar kemungkinannya pada kelahiran kita yang terdahulu memang kita pernah terlibat masalah yang membuat kita bermusuhan. Jadi dendam masa kelahiran terdahulu akan terbawa dikehidupan sekarang. Yang kedua, dengan orang seperti itu kita tidak perlu membalasnya karena dosa yang dia buat pada diri kita akan habis dengan perlakuan pembalasan dari diri kita. Toh manusia terlahir di dunia ini tidak dengan kesempurnaan. Yang harus kita lakukan hanya memaafkannya dan mendoakan supaya terbuka mata hatinya. Hanya itu yang aku lakukan, dan beberapa orang sudah berubah menjadi lebih baik padaku karena aku memang selalu berusaha baik pada mereka walau hatiku sudah pernah tersakiti oleh mereka. Ternyata ketika kita mampu iklas tanpa harus membalas perlakuan buruk orang lain terhadap diri kita, akan terasa demikian indahnya hidup ini.

Minggu, 23 Mei 2010

Niat Baik


"Tetaplah selalu dengan niat baikmu", itulah nasehat suamiku yang membuat diriku semakin tegar menghadapi hidup ini. Dari awal pertemuanku dengannya hingga kami menikah, sangat berat rintangan yang harus kami hadapi. Dari keluarga yang menentang, tuntutan yang berlebihan dari teman-teman dekat suamiku hingga sakitku pada organ reproduksi.

Awal pernikahanku adalah ujian sangat berat pada diriku. Dimana biasanya sebuah awal pernikahan pasti indah-indahnya, namun berbeda dengan yang aku alami. Pertama aku harus berjuang untuk menyehatkan diriku sendiri akibat operasi pengangkatan tumor di kandungan yang baru dijalani 2 bulan yang lalunya. Kedua aku harus berjuang untuk tetap kuat dengan pertentangan dari sebagian keluarga suamiku atas pernikahan kami. Tidak jarang hinaan yang aku dapati ketika sedang berada di tengah-tengah keluarga besarnya. Aku selalu berusaha menguatkan hati dengan penuh kesabaran walau tak jarang air mataku tumpah juga. Ketiga aku juga harus menguatkan hati dari gangguan teman-teman dekat suamiku, yang aku pikir mereka terlalu menuntut lebih dari seorang laki-laki yang sudah berubah status dari lajang menjadi menikah. Yang keempat, aku harus berjuang di daerah orang yang benar-benar beda dengan daerahku. Hidup jauh dari orang tua dan saudara bukanlah hal yang ringan bagi aku yang baru pertama kali mengalaminya. Yang kelima, perjuanganku akan keturunan dari rahimku sendiri sangat menjadi beban bagiku walau suamiku tidak terlalu menuntut hal itu.

Itu mungkin hanya sebagian dari perjuanganku menghadapi hidup ini, tapi dari semua yang aku uraikan dalam setiap kali keterpurukan yang aku rasakan, aku selalu mendapat nasehat terbaik bagiku yaitu 'tetaplah dengan niat baik'. Ketika ada keluarga suamiku yang menghinaku hingga membuat aku seperti takut bertemu dengan mereka, aku pernah dengan berlinangan air mata protes terhadap suamiku,"Kenapa mereka menghinaku seperti ini, kenapa mereka tidak mau mencoba untuk mengenali diriku dulu?". Suamiku hanya berkata,"Jangan pernah berubah hanya karena mereka jahat terhadapmu, tetaplah dengan niat baikmu. Kita tidak bisa memaksa orang lain seperti apa yang kita inginkan, namun ubahlah penilaian mereka yang mungkin sekarang masih buruk menjadi nilai yang terbaik dengan sikap baikmu yang tiada berhenti". Dan nasehat itu terbukti sekarang, semua dari mereka yang tadinya tidak menghendaki kehadiranku di tengah-tengah keluarga menjadi berubah sangat memperhatikanku dengan penuh kasih sayang.

Begitu pula dengan mantan teman dekat suamiku yang dulu sangat tidak bersahabat, namun kini menjadi teman baikku. Dengan niat baik yang aku tunjukkan padanya, mungkin sudah mengubah penilaiannya terhadapku. Tanpa diduga walau kami belum sempat bertemu muka, namun kami bisa berbagi cerita tentang banyak hal layaknya sahabat lama. Banyak yang menilai persahabatanku dengannya aneh, namun bagiku malah luar biasa indahnya karena aku bisa menjadikan dia yang dulu bisa dikatakan lawan menjadi seorang kawan baik.

Sekarang aku bisa menjadi tegar karena aku merasa memiliki senjata terhebat dalam menjalani hidup ini yaitu 'niat baik'. Segala rintangan yang aku alami baik itu hinaan maupun segala bentuk penganiayaan batin selalu dapat terlewati hanya dengan niat baik. Memang diawal terasa seperti menelan pil pahit, sangat pahit malah namun dikemudian terasa begitu lega. Dengan niat baik pasti menghasilkan yang baik pula.

Sabtu, 08 Mei 2010

Indahnya Memberi


"Lebih baik memberi daripada menerima", kata-kata itu yang sering aku dengar dari seorang Ustad yang hampir tiap bulan mengisi jadwal pengajian di sebuah kantor tempat suamiku bekerja di Enrekang - Sulawesi Selatan. Aku memang bukan Muslim namun karena tanggung jawabku harus mendampingi semua anggota sebuah organisasi di situ. Ustad itu (lupa namanya) selalu mengatakan untuk membiasakan diri selalu memberi karena harta yang kita berikan ke orang lain tidaklah pernah habis, yang habis hanyalah harta yang kita pergunakan sendiri. Mulanya aku hanya menganggap nasehat itu hanyalah sebuah nasehat yang hanya terbukti pada zamannya nabi-nabi dulu. Benarkah begitu adanya pada kehidupan dizaman sekarang ini?

Ternyata Tuhan memberikanku petunjuk bahwa nasehat itu sangat bermanfaat pada saat ini. Tanpa sengaja aku dipertemukan dengan seorang ibu yang aku anggap seperti ibu angkat bagiku dan suami. Ibu Haniah namanya seorang janda dari seorang suami mantan karyawan dengan pangkat terendah, namun harus membesarkan 6 orang anak. Pendapatnya hanya dari pensiun suami yang tidak seberapa, dan sesekali mendapat pesanan makanan dari pesantren atau dari masyarakat Enrekang yang punya hajatan. Setiap kali aku dan suamiku datang dari rumahnya, sering sekali kami keheranan, kenapa ya mamak (panggilanku pada beliau) bisa menghidupi banyak orang di rumah yang sederhana itu. Mamak selalu memberi makan setiap orang yang mampir ke rumahnya termasuk aku dan suamiku dengan menu lengkap. Mamak selalu bilang merasa bersalah jika tidak memberi walau hanya air putih ketika ada orang yang mampir ke rumahnya. Jadilah rumah yang sederhana itu selalu ramai dan mamak tidak pernah mengeluh kekurangan.

Tuhan masih memberikanku sebuah contoh keindahan memberi ketika kami pindah ke Polewali Mandar - Sulawesi Barat. Di kantor tempat suamiku bertugas ada seorang satpam merangkap cleaning service tinggal di sebuah rumah yang sangat-sangat sederhana. Di situ sering sekali dijadikan tempat singgah bagi orang yang datang dari Mamasa untuk sebuah keperluan. Bapak Dominggus seorang Katolik berasal dari Mamasa, dengan pendapatan yang tidak cukup banyak namun selalu bisa memberi tempat orang lain untuk menginap bahkan tidak hanya sehari. Menyediakan makan ketika ada yang mampir ke rumah yang hanya dia pinjam dari pamannya. Bahkan aku dan suamiku pun sering berkunjung ke situ, karena kebetulan aku menjadi orang tua baptis bagi kemenakannya. Tiada pernah kata mengeluh kekurangan yang aku dan suamiku dengar dari bapak Dominggus dan istrinya. Mereka demikian iklas menjamu setiap orang yang datang ke rumahnya. Binar kebahagiaan sangat nampak dari matanya ketika kami mau menikmati makanan yang disajikannya.

Indahnya memberi sekarang telah dapat aku rasakan sendiri. Tuhan selalu membuka pintu rezeki yang lain ketika kita telah mampu iklas memberikan harta yang kita miliki dengan mereka yang membutuhkan.

Kekuatan Cinta

"Tumor kandungan", kata itu terngiang di telingaku. Bagaikan mendengar petir, kaget tak terkira mendapati diagnosa dokter radiologi di senja itu. Oh Tuhan......kenapa aku harus menderita sakit serius seperti ini disaat karierku sedang bagus, dan terlebih lagi ketika ada seorang laki-laki yang dengan serius akan melamarku. Ku terpuruk tak berdaya.

Akankah pesta pernikahan yang tinggal 3 bulan lagi itu ada? Masih dapatkah aku bekerja lagi, sedangkan dokter telah memvonis ginjalku sudah terganggu akibat gesekan tumor yang semakin membesar. Apa yang harus aku katakan dengan kekasihku, bila dia bertanya tentang sakit yang sedang aku derita? Haruskah aku berbohong? Atau mungkin berterusterang dengan resiko yang menyedihkan? Haruskah aku kehilang keduanya, pekerjaan dan kekasihku? Tiada dapat kubendung air mata ini.

Telepon genggamku pun akhirnya berdering, tiada lain dia kekasihku yang sedang bertugas di Sulawesi Selatan sedangkan aku berada di Denpasar. Dengan kekuatan cinta yang aku miliki akhirnya kuceritakan sakitku dengan penuh kejujuran dan kepasrahan. Ku serahkan diriku kepada Tuhan yang memberiku hidup, memberiku kebahagiaan serta cobaan yang sedang aku alami saat itu. Sebelum kututup pembicaraan, aku pesan agar dia berfikir lagi tentang kelanjutan hubungan kami. Dia sempat bertanya,"Apa kamu siap apapun keputusan dariku?" "Cobaan ini Tuhan berikan tanpa pernah bisa kumenolaknya. Begitupun dengan keputusanmu, tiada mampu kupaksakan agar seperti apa yang kumau", jawabku saat itu. Aku berusaha kuat menghadapi semua ini. Walau kesedihanku teramat sangat, namun aku yakin Tuhan tidak akan pernah memberikan cobaan yang melebihi kemampuan umat-Nya.

Diluar dugaanku, dia memberiku pehatian yang lebih besar lagi. Semangat yang diberikan seperti obat yang lebih mujarab daripada obat yang diberikan dokter. Diapun datang menemaniku disaat menjalani operasi pengangkatan tumor itu. Dengar setia dan sabar mendampingiku yang sedang menahan sakit yang luar biasa.

Seperti harapannya dan keluargaku, aku pun akhirnya sehat dan ceria lagi. Tahun keempat pernikahanku barulah kami dikaruniai seorang putri. Padahal aku sempat putus asa karena setiap dokter kandungan yang aku datangi selalu memvonis kecil sekali kemungkinanku memiliki keturunan dari rahimku sendiri. Rasa syukurku kepada Tuhan semakin bertambah dengan kelahiran putra keduaku 2 tahun kemudian.

Ternyata kekuatan cinta dari suamiku mampu membuat hidupku menjadi penuh keajaiban. Bagaimana mungkin di zaman sekarang ini ada seorang laki-laki hanya dengan bermodalkan cinta yang tulus menikahi seorang perempuan yang sedang sakit. Namun laki-laki itu ada dan nyata, dialah suamiku tercinta.

Jumat, 07 Mei 2010

Roda Kehidupan

Aku terhenyak menyaksikan segala yang terjadi di hadapanku. Pikiranku langsung teringat pada kejadian setahun yang lalu. Aku terpuruk saat itu, aku bagaikan seorang terdakwa yang tidak mendapat kesempatan untuk membela diri. Batinku sangat teraniaya oleh fitnah-fitnah keji, walau aku berusaha untuk tegar namun sering kurasa tak berdaya oleh kenyataan yang aku hadapi saat itu.

Aku memilih diam dan menghindar dari lingkungan yang sebenarnya tidak dapat aku hindari. Aku mengurangi pertemuan dengan mereka yang demikian kejam menyiksa batinku bukan karena aku takut, tapi karena aku merasa sangat tidak positif berhadapan dengan mereka. Aku iklaskan kelakuan mereka walau sangat merugikan bagiku. Aku yakin suatu saat Tuhan pasti akan menunjukan kebenaran yang sejati.

Masa-masa itu aku jalani hanya dengan orang asing yang akhirnya menjadi sahabatku karena kami mengalami bersama. Kami bagaikan manusia terbuang, tersisihkan dari sebuah pergaulan. Namun kami punya semangat untuk kehidupan yang lebih positif. Tidak ada yang membela, tidak ada yang perduli dengan keadaan kami. Namun kami tidak berhenti sampai di situ, selalu dan selalu setiap kesempatan kami tunjukkan niat baik kami demi sebuah keadilan dan kebenaran.

Seiring berputarnya roda kehidupan, waktu demi waktu berlalu dan tanpa kami memohon pada siapapun Tuhan telah mengirim seorang pemimpin yang bagaikan malaikat bagi kami. Keadilan ditegakkan dan kebenaranpun terkuak dengan sendirinya.

Saat ini orang-orang yang berlaku curang pada diriku seperti diadili di hadapanku dan di hadapan banyak orang tanpa aku meminta dengan siapapun, hal itu terjadi juga. Segala yang terampas dari kehidupan kami seolah-olah dikembalikan lagi tanpa berusaha untuk merampasnya. Inilah aku sadari roda kehidupan telah berputar dengan cepatnya. Aku yang dulu terlindas tak berdaya kini terangkat oleh sebuah kebenaran.