"Lebih baik memberi daripada menerima", kata-kata itu yang sering aku dengar dari seorang Ustad yang hampir tiap bulan mengisi jadwal pengajian di sebuah kantor tempat suamiku bekerja di Enrekang - Sulawesi Selatan. Aku memang bukan Muslim namun karena tanggung jawabku harus mendampingi semua anggota sebuah organisasi di situ. Ustad itu (lupa namanya) selalu mengatakan untuk membiasakan diri selalu memberi karena harta yang kita berikan ke orang lain tidaklah pernah habis, yang habis hanyalah harta yang kita pergunakan sendiri. Mulanya aku hanya menganggap nasehat itu hanyalah sebuah nasehat yang hanya terbukti pada zamannya nabi-nabi dulu. Benarkah begitu adanya pada kehidupan dizaman sekarang ini?
Ternyata Tuhan memberikanku petunjuk bahwa nasehat itu sangat bermanfaat pada saat ini. Tanpa sengaja aku dipertemukan dengan seorang ibu yang aku anggap seperti ibu angkat bagiku dan suami. Ibu Haniah namanya seorang janda dari seorang suami mantan karyawan dengan pangkat terendah, namun harus membesarkan 6 orang anak. Pendapatnya hanya dari pensiun suami yang tidak seberapa, dan sesekali mendapat pesanan makanan dari pesantren atau dari masyarakat Enrekang yang punya hajatan. Setiap kali aku dan suamiku datang dari rumahnya, sering sekali kami keheranan, kenapa ya mamak (panggilanku pada beliau) bisa menghidupi banyak orang di rumah yang sederhana itu. Mamak selalu memberi makan setiap orang yang mampir ke rumahnya termasuk aku dan suamiku dengan menu lengkap. Mamak selalu bilang merasa bersalah jika tidak memberi walau hanya air putih ketika ada orang yang mampir ke rumahnya. Jadilah rumah yang sederhana itu selalu ramai dan mamak tidak pernah mengeluh kekurangan.
Tuhan masih memberikanku sebuah contoh keindahan memberi ketika kami pindah ke Polewali Mandar - Sulawesi Barat. Di kantor tempat suamiku bertugas ada seorang satpam merangkap cleaning service tinggal di sebuah rumah yang sangat-sangat sederhana. Di situ sering sekali dijadikan tempat singgah bagi orang yang datang dari Mamasa untuk sebuah keperluan. Bapak Dominggus seorang Katolik berasal dari Mamasa, dengan pendapatan yang tidak cukup banyak namun selalu bisa memberi tempat orang lain untuk menginap bahkan tidak hanya sehari. Menyediakan makan ketika ada yang mampir ke rumah yang hanya dia pinjam dari pamannya. Bahkan aku dan suamiku pun sering berkunjung ke situ, karena kebetulan aku menjadi orang tua baptis bagi kemenakannya. Tiada pernah kata mengeluh kekurangan yang aku dan suamiku dengar dari bapak Dominggus dan istrinya. Mereka demikian iklas menjamu setiap orang yang datang ke rumahnya. Binar kebahagiaan sangat nampak dari matanya ketika kami mau menikmati makanan yang disajikannya.
Indahnya memberi sekarang telah dapat aku rasakan sendiri. Tuhan selalu membuka pintu rezeki yang lain ketika kita telah mampu iklas memberikan harta yang kita miliki dengan mereka yang membutuhkan.
Tin, kamu jadi orang tua baptis? Sori, apa kamu katolik sekarang?
BalasHapusGak Wi, aku msh Hindu. Memang aneh ya....Waktu anak itu lahir hingga saat akan dibaptis memang sgt dekat dgn aku n suami. Ketika org tuanya mengatakan akan baptis Tesa (namanya), aku smpt bilang seandainya aku Kristiani pasti mau jd org tua baptisnya, trus org tuanya bilang boleh bu....walau aku msh Hindu. Ya udh akhirnya jd deh org tua baptisnya...:)
BalasHapus